Menyambung Hidup dari Menganyam Rotan, Kekurangan Fisik Bukan Halangan
Stigma di masyarakat kerap kali membuat penyandang disabilitas mengalami diskriminasi. Dianggap tak mampu bekerja produktif, tidak bisa berprestasi, bahkan dicap sebagai beban dalam masyakat membuat perjuangan hidup penyandang disabilitas kian berat. Yenti Selus, penyandang disabilitas asal Kampung Parang, Desa Golo Ndele, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT mencoba mematahkan stigma sosial itu. Selus mengalami keterbatasan fisik sejak lahir. Kakinya kecil dan pendek, atau tidak berkembang dengan baik. Baca juga: Tolak Bantuan APD dari Risma, Dirut RSUD Soetomo: Banyak RS Lain yang Kekurangan Ia tidak bisa berjalan normal, aktivitas harian dijalani dengan bantuan tongkat kayu. Meski di tengah keterbatasan fisik, pria yang kerap disapa Selus itu mampu berkarya. Ia menekuni dan menghasilkan kerajinan tangan berbahan baku rotan. Selus mulai menghasilkan berbagai produk terbuat dari rotan sejak tahun 2015. "Awal mulanya, saya berpikir bagaimana saya bisa memberikan sesuatu untuk istri dan anak. Saya harus bekerja, apa pun itu. Sejak kecil hingga berkeluarga saya tidak buat apa-apa. Saya hanya makan dan minum di rumah," tutur Selus saat dijumpai Kompas.com di kediamannya, Senin (29/6/2020). Baca juga: Viral, Video Polisi Tolak Laporan Anak yang Ingin Penjarakan Ibunya karena Masalah Motor Awalnya Selus mengutarakan niatnya kepada sang istri, Murni. Niat baiknya itu pun mendapat dukungan penuh. Mereka sama-sama merintis usaha kerajinan tangan dengan berbagi peran. Murni mencari kuar (rotan) dan Selus menganyam kerajinan itu di rumah.
Selain istri, banyak juga warga sekitar yang membawa rotan dari hutan ke rumah Selus. Warga memberikan secara sukarela. Itu sebagai dukungan terhadap usahanya. Dari rotan Selus akhirnya berhasil menghasilkan beragam jenis produk seperti, piring, dulang, bakul, topi, tas, tutupan saji, vas bungas, dan tempat nasi. Bingung Selus sempat bingung cara memasarkan produknya. Dengan segala keterbatasan, ia mencoba menjual hasil karyanya melalui bantuan keluarga yang berada di luar kampung. Dari situ mulai banyak orang mengetahui hasil kerajinan tangan pria disabilitas itu. "Saya biasa jual barang-barang ini ke Labuan Bajo. Awalnya ada saudara yang tinggal di sana dan ajak saya bawa hasil anyaman ini ke sana. Saya ikuti ajakan saudara itu. Dari situlah hasil karya saya dikenal orang luar," ungkap Selus. Setahun berlalu produknya mulai dikenal orang luar. Mulai saat itu banyak pesanan. Produk yang dipesan langsung dibuat tergantung motif dan jenis produk sesuai permintaan. Harga produk yang dihasilkan pun variasi, tergantung motif dan jenisnya. Untuk piring harga per lusin Rp 150.000, dulang per buah Rp 100.000, saringan Rp 150.000, tutup saji Rp 200.000, vas bunga Rp 50.000, dan topi peci, Rp 150.000. Kemudian topi cowboy Rp 150.000, tas Rp150.000, dan alas tar Rp 25.000. Selus mengatakan, sejak tahun 2015 hingga sekarang, paling banyak orang yang memesan dari Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Sementara untuk di Manggarai Timur sendiri, jumlah pemesan masih sedikit. Mungkin karena belum mengetahui produkunya. "Hasil jual produk ini selama lima tahun ini, ya, cukup untuk membantu ekonomi keluarga. Puji syukur, Tuhan mendengar doa saya dan keluarga. Dari lima tahun lalu sampai sekarang, saya bisa berkarya dan menghasilkan uang," kata Selus. Kendala Selama lima tahun menekuni kerajinan tangan tentu memiliki banyak kendala. Di antaranya alat kerja masih manual, media pemasaran produk, dan modal. Selama ini ia bekerja mengandalkan sebilah pisau untuk menghaluskan rotan. Sementara untuk mempromosikan hasil kerjanya, ia meminta bantuan keluarga untuk menceritakan tentang produk-produknya tersebut. Dua tahun terakhir, Selus mulai memasarkan kerajinan tangan dari rotam itu via media sosial Facebook. Namun, upaya itu juga belum maksimal. "Harapan saya semoga dengan terekspos ke media massa, pemerintah desa, dan kabupaten bisa mendukung karya kerajinan tangan ini. Dulu sempat ada bantuan dana dari pemerintah desa, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi," ungkap Selus. "Saya butuh bantuan modal, alat, dan pemasaran. Selama ini saya bingung cara memasarkan barang ini. Semoga ada pihak bersedia membantu usaha saya ini," sambungnya. Selus menyebut, dirinya juga terkena dampak Covid-19. Sejak Covid-19 mewabah, ia hampir tak berpenghasilan. Memang ada yang memesan, tetapi kendala di pengiriman barang. Sehingga setelah dianyam, produknya hanya menumpuk di rumah. "Semoga badai ini segera berlalu. Kita sudah sangat susah," ucap Selus.